Revisi UU Ormas, Kombinasi HAM, Partisipasi dan Kedaulatan Negara
By Admin
nusakini.com--Pemerintah siap melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan yang telah disahkan jadi Undang-Undang Ormas. Revisi akan bersifat terbatas. Dan pemerintah terbuka terhadap segala masukan. Prinsipnya rivisi yang akan dilakukan kombinasi dari aspek HAM, partisipasi dan kedaulatan negara.
Demikian ditegaskan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarno, usai menerima perwakilan Partai Demokrat di kantor Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, Selasa (31/10).
Perwakilan Partai Demokrat yang dipimpin Sekjen partai, Hinca Panjaitan datang ke Kemendagri untuk menyerahkan draf revisi UU Ormas versi mereka. Ikut hadir menerima perwakilan Partai Demokrat, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Arief M Eddie dan Direktur Ormas Ditjen Polpum, La Ode Ahmad Fidani.
"Kita kombinasikan antara HAM, partisipasi dan kedaulatan negara. Kira-kira itu yang kurang di UU lama, ini yang overshot di Perppu kita. Nah ini yang kita konstruksikan ulang, kira kira gitulah," kata Soedarmo.
Soedarmo menambahkan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sendiri dari awal, sudah menegaskan, agar revisi UU Ormas, konstruksinya tepat. Jangan sampai kemudian, hubungan negara dengan ormas ini terganggu. Hubungan itu harus terjaga dengan baik. Mengenai kapan revisi akan dimulai dan selesai, Soedarmo berharap secepatnya. "Ya kita berharap jangan sampai terlambat," kata dia.
Bahkan, kalau bisa sebelum pertengahan 2018, bisa rampung. Karena di pertengahan 2018, ada agenda politik, yakni Pilkada serentak dan tahapan pemilu nasional serentak. Tahun 2018, adalah tahun politik. Idealnya, revisi bisa selesai sebelum tahun politik.
"Pertengahan 2018 ini kan sudah masuk Pilkada ya kan. Pemilihan ituk an mulai tanggal 27 Juni, Pilkada serentaknya. Juli masuk ke tahapan Pilpres 2019. Nah mangkanya kan kalau bisa kan sebelum itu. Kalau bisa bahasnya kan sebelum tahun-tahun politik artinya sebelum Juni atau Juli. Kira sebelum itu," ujarnya.
Soedarmo juga berharap, mudah-mudahan di masa sidang tahun depan, revisi bisa selesai. Opsinya, revisi bisa dilakukan lewat jalur prolegnas. Tapi juga bisa tanpa jalur prolegnas.
"Kalau enggak lewat jalur prolegnas bisa lebih cepet. Yang penting pemerintah dengan DPR sepakat, cepet bisa. Enggak perlu berbulan-bulan," kata dia.
Revisi UU Ormas sendiri lanjut Soedarmo, bersifat terbatas. Karena itu yang sudah disepakati. Revisi bisa menyangkut masalah yang terkait dengan peradilan. Isu itu yang diakuinya memang menjadi kritik banyak kalangan. Masalah yang terkait dengan sanksi pidana, bisa juga masuk dalam revisi. Yang pasti, akan ada perbaikan. Misalnya Pasal 60 yang berkaitan dengan status ormas sebagai corporate yang tidak bisa dipidanakan.
"Jadi di ketentuan Pasal 60 itu kita usulkan perubahan karena ormas itu disamping dikenakan sanksi administrasi atau pidana. Nah pidana ini yang minta dikeluarkan karena pidana itu menyangkut orang, tidak menyangkut corporate. Nah nanti itu nanti diberlakukan kepada pengurus, anggota, yang gradasinya kita atur, " urai Soedarmo.
Kembali Soedarmo menegaskan, secara prinsip gradasi dan kecepatan penanganan menjadi konsen negara. Sejak awal itu yang dikontruksikan pemerintah lewat Perppu Ormas. Jangan sampai, dalam revisi UU Ormas, pemerintah tidak bisa apa-apa, ketika ada ormas yang terang-terangan ingin mengganti Pancasila dan mengancam NKRI.
"Jadi gradasi sanksi kemudian kecepatan penanganan itu menjadi konsen. Jangan sampe di UU Nomor 17 itu kan pemerintah tidak bisa apa-apa itu, bukan hanya lama tapi tidak bisa apa-apa," kata dia.
Tapi Soedarmo juga menegaskan, pemerintah pun tak ingin dicap otoriter. Tetap akan diberi ruang bagi ormas yang tak setuju, misalnya ormas yang kena sanksi. Namun prinsip menjaga kedaulatan NKRI, Pancasila, kebhinekaan dan UUD 1945, tak bisa ditawar-tawar lagi. Bisa dikatakan, itu sudah final dan harga mati.
"Nah di proposal kami, di usulan kami yang itu kita berikan ruang negara untuk menggunakan rights-nya untuk membela diri. Termasuk melindungi sendi-sendi negara, Pancasila, konsitusi, kebhinekaan kita dan seterusnya yang memang menjadi seni negara yang hak negara untuk melindungi dirinya. Itu kita jadi paradigmanya," tutur Soedarmo.(p/ab)